Prayer Times For 6 Million Cities Worldwide
Country:
/* Footer ----------------------------------------------- */ #footer-wrap1 { clear:both; margin:0; padding:15px 0 0; } #footer-wrap2 { background: #476 url("http://www.blogblog.com/rounders4/corners_cap_top.gif") no-repeat left top; padding:8px 0 0; color:#ffffff; } #footer { background:url("http://www.blogblog.com/rounders4/corners_cap_bot.gif") no-repeat left bottom; padding:8px 15px 8px; } #footer hr {display:none;} #footer p {margin:0;} #footer a {color:#ffffff;} /** Page structure tweaks for layout editor wireframe */ body#layout #main-wrap1, body#layout #sidebar-wrap, body#layout #header-wrapper { margin-top: 0; } body#layout #header, body#layout #header-wrapper, body#layout #outer-wrapper { margin-left:0, margin-right: 0; padding: 0; } body#layout #outer-wrapper { width: 730px; } body#layout #footer-wrap1 { padding-top: 0; } -->

Friday, February 16, 2007

AKU, MENCARI DIRIKU….

Cukup jauh perjalanan ini kutempuh. Menapaki hari demi hari, menyisiri pagi hingga petang. Rembulan malu-malu menampakkan diri, lalu mentari datang dengan gagahnya. Setiap hari begitu. Selalu!. Bukankah ini sebuah keniscayaan?, maka seharusnya tak lagi ada tanya untuk itu. Aku tak menggugat hari, sama sekali tidak. Bukankah aku memang tak punya otoritas untuk itu. Siapa aku?, maka jawabnya aku bukan siapa-siapa. Sungguh tak tahu malunya diriku untuk menggugat hari. Toh, meskipun aku punya hak untuk itu, haripun tak salah. Jadi buat apa aku mencari justifikasi untuk menyalahkan hari.

Perjalanan ini telah menempuh dua dekade. Perjalanan yang jika mau jujur, cukup melelahkan. Tapi, ini adalah konsekuensi atas sebuah pilihan. Jika tak mau menjalani, ya diakhiri. Gampang bukan?. Tapi bagaimana selanjutnya, ya harus diterima. Suka atau tidak suka, sebab itulah pilihan. Harus menerima segala konsekuensi dan risikonya. Tak kata ada penolakan. Sebab menolak berarti tak ada.

Hari bergulir semakin jauh. Pilihan hidup ini semakin banyak. Tak cuma harus memilih satu diantara dua, tetapi satu diantara sepuluh. Atau bisa saja sepuluh diantara seratus, atau seratus diantara seribu atau bahkan seribu diantara milyaran pilihan. Dan kita tinggal memilih. Sederhana bukan?.

Seperti hari ini, aku masih saja diperhadapkan pada pilihan, menentukan diriku. Sekadar memilih saja tentulah mudah. Varian pilihan yang ditawarkanpun banyak. Jadi, kenapa harus pusing. Tapi sekali lagi, aku harus menghitung untung rugi dari pilihanku. Menimbang sebelum memutuskan.

Di perjalanan jauh ini (jika dikalikan dengan hari yang telah terlewati), aku mencari diriku. Mencari yang tersembunyi dari yang tak nampak. Seperti bermain petak umpet. Ayo...sembunyi dimana?. Mencari dan mencari. Aku terus mencari diriku, di tengah pilihan-pilhan yang ada. Kemana dirimu sahabat? Bagaimana cara aku tahu, dirimu bersembunyi dimana?. Aku memerlukan peta penunjuk arah. Aku butuh bisikan meski sekadar sinyal yang dibawa oleh angin. Aku masih mencari, dimana gerangan dirimu bersembunyi. Keluarlah sahabat, keluarlah. Tunjukkan wujudmu, biar kutahu siapa dirimu. Jika aku mengenalmu, maka aku mudah mengenali diriku. Aku mencarimu sahabat. Atau kau tak perlu dicari. Mungkinkah engkau datang tanpa aku mencarimu. Tapi aku terus mencarimu sahabat. Sebab rasanya mustahil engkau kan datang tanpa kucari. Aku harus menemukanmu sekarang. Bukan besok, apalagi lusa. Biar bisa kupersiapkan segalanya. Biar aku mengantarmu pada apa yang enkau inginkan. Biar aku bisa meraba kemana muara diriku. Aku mencarimu sahabat. Aku mencari diriku....

( 14 Februari 2007, saat aku nerpikir tentang diriku, muaraku kelak).